Minggu, 22 Januari 2017

banner vice.id


Cara Roby Dwi Antono Mengoplos Khayalan Anak dan Gambar Sureal

 

Banyak aspek yang bikin bulu kuduk berdiri dalam dunia 'cut and paste' ala seniman dari Yogyakarta ini.

Lukisan Roby Dwi Antono sepintas menyerupai mimpi-mimpi berlatar cerita Alice in Wonderland saat kita demam. Anak-anak dan monster yang disusun dari bagian tubuh binatang lain yang menyantap buaya hidup di sebuah meja yang megah.  Seekor kelinci yang menyusui bayi manusia sementara bocah-bocah berkepala dinosaurus asik bermain di luar. Seorang anak bermata menyeramkan menampung darah ikan Paus mungil dalam mangkuk berisi kepala manusia.
ADVERTISEMENT
Seniman asal Yogyakarta ini meniti karir dengan mengoplos khayalan khas anak-anak bersama citra-citra yang sureal. Karya-karya Roby sangat aneh dan sedikit mengancam, seakan dia berhasil menemukan akar gelap dari dongeng dan cerita anak sebelum unsur-unsur kanibalisme, bunuh diri, dan kekerasan dibuang oleh Disney.
"Aku akui banyak karyaku berbau kesedihan, rasa sakit, misteri serta tema-tema gelap lainnya." ujar Roby. "Aku memang dekat melankolia. Inspirasiku datang dari hal-hal yang dekat denganku—keluarga misalnya. Ada beberapa hal yang menyedihkan terjadi pada keluargaku. Salah satu kakakku mati mendadak. Kejadian ini sangat mengguncang untuk diriku dan keluargaku. Ini yang kemudian jadi inspirasi karya-karya awalku."
"Sejak saat itu lukisan-lukisanku, salah satunya ' Sepenggal September', terpengaruh hari-hari kelabu itu. Kadang karakter kelinci diganti dengan anak kecil. Ini karena masih ada anak kecil dalam diriku."
Roby dikenal lantaran karakter Kinci, gadis kecil berkepala kelinci besar yang bikin karir Roby moncer belakangan ini. Kinci muncul begitu saja ketika Roby begadang semalaman menggambar karakter. Roby menyukai sosok Kinci yang digambarnya. Langsung saja, dia memajang Kinci di laman Facebook. Kinci sebenarnya adalah usaha Roby mendekati gaya surreal seniman negeri Paman Sam Mark Ryden. Tak lama kemudian, Roby mulai menggambar sebuah dunia untuk ditinggal oleh Kinci.
"Aku dapat komentar-komentar seperti ini 'kok aneh sih, kenapa kamu menggambar rumah dan Power Rangers (dalam satu lukisan)?" ujar Roby. "padahal, aku sengaja menggambar obyek yang kelihatannya random, meski sebenarnya engga. Ada benang merah di antara semua simbol yang aku pakai, bukan cuma sembarang kolase."
"Contohnya, alasanku mengambar perempuan muda yang salah satu tangannya berupa capit, karena aku banyak terpengaruh oleh imajinasi masa kecilku dan acara TV yang kutonton. Aku menonton banyak petualangan pahlawan super Jepang melawan monster-monster jahat. Ini terus tertanam dalam ingatan. Capit itu adalah simbol pertahanan atau senjata yang kita ambil saat merasa terancam secara fisik atau mental."
ADVERTISEMENT
Salah satu karya Roby menghiasi sampul album band dream pop asal Denmark Sleep Party People. Lukisan-lukisan Roby juga akan dipamerkan di Artstage Singapura bulan ini dan di Art Fair Philippines pada Februari mendatang.
Semua lukisan dimuat seizin Roby Dwi Antono

Menyelami Dunia Horor Ganjil Tontey

Yudhistira Agato
 

Seniman muda Natasha Gabriella Tontey menggelar pameran di Footurama, Jakarta. Dia membahas kanibalisme, kemiripan horor sosial Jepang dan Indonesia, hingga kenangan buruk film G30S/PKI.

Di dunia seni rupa Indonesia, tidak ada seniman lain yang terobsesi pada horor-horor ganjil melebihi Tontey. Nama Natasha Gabriella Tontey lima tahun belakangan semakin sering terdengar meramaikan berbagai pameran dan proyek kolaborasi. Baik di tanah air ataupun di luar negeri. Tontey meramaikan pameran poster Mata Perempuan sebagai bagian dari Jakarta Bienalle 2011, terlibat Body Festival besutan Ruang Rupa pada 2013. Dia pun berkolaborasi dengan seniman asal Australia dalam proyek 'Angkot Alien' yang ditampilkan dalam New Wave Festival di Melbourne pada 2016. Tontey menjamah bermacam medium, mulai dari desain grafis, fotografi, performance art, hingga video eksperimental.
ADVERTISEMENT
Kini Tontey siap menyajikan deretan karya terbarunya, Little Shop of Horrors. Seniman yang menghabiskan waktu mukim di Yogya dan Jakarta itu meramaikan Perhelatan Footurama, Como Park, Kemang Timur. Konsep pamerannya banyak menampilkan citra-citra ganjil. Diantaranya jajaran boneka bayi yang dimutilasi sampai prosesi 'makan mayit'. 
Konsep awal Little Shop of Horrors rupanya sudah pernah dia tampilkan di Jepang, ketika diundang mengikuti residensi seniman di Distrik Koganecho, Kota Yokohama dua tahun lalu. Kawasan itu satu dasawarsa lalu adalah lokalisasi besar dihuni ratusan pekerja seks. Pemerintah setempat kemudian menggusur pelacuran, mengubahnya menjadi distrik seni. Tontey tertarik menggali cerita kelam ini, karena melihat respon warga dan pejabat setempat yang enggan membahas soal pelacuran. Dia menggubah cerita itu menjadi karya seni performatif.

Untuk memperkuat gagasan pameran yang kini disesuikan dengan konteks Indoensia, Tontey mengundang Ken Jenie (Jirapah) dan musisi elektronik Dipha Barus berkolaborasi.
VICE Indonesia ngobrol bersama Tontey, membahas hal-hal yang membuatnya tertarik pada gagasan serba ganjil, kesadarannya bahwa ada kemiripan kultur Jepang dengan Indonesia soal horor, serta mengurai pandangan seniman muda ini tentang kanibalisme.
VICE Indonesia: Nama pameran elo 'Little Shop of Horror', diambil dari film horor Amerika Serikat 60-an berjudul sama bukan sih?Tontey: Namanya emang dari situ inspirasinya. Gue emang suka filmnya, biarpun cerita filmnya beda banget. Cuman karena cocok sama konsepnya jadi gue ambil nama itu.
Kapan pertama kali elo tertarik menyelami dunia horor?Tontey: Jadi sebenernya horor yang gue maksud bukan hantu-hantuan sih, lebih ke personal horor gitu. Horor itu kan luas banget, kalo dalam berkarya gue tertarik untuk mempertanyakan ulang bagaimana ide dari ketakutan itu bisa dimanifestasi dan dibuat untuk mengontrol orang lain dan publik gitu.
Jadi konteksnya bukan horor supernatural, tapi horor sosial?Iya.
ADVERTISEMENT
Kejadian apa misalnya yang elo kategorikan horor sosial?Kayak waktu kecil gue nonton film Pemberontakan G30S/PKI (arahan sutradara Arifin C. Noer-red) dan gue percaya banget gitu kan. Tapi setelah kuliah dan ngobrol sama orang lain, ternyata itu bohongan ya. Propaganda gitu.
Apa dampak menyadari adanya upaya pembohongan publik dan horor sosial, ke karir elo sebagai seniman?Gue jadi kayak penasaran, 'karya gue itu bisa dikembangin dengan cara apa nih?' Biarpun kemasannya hantu-hantuan, tapi maksud gue engga gitu sih. Gue cuma mau mengemas karya gue lewat cara yang gue suka.
Bagaimana elo menghubungkan tema horor sosial yang elo pengen utarakan, menggunakan obyek-obyek yang berbau supernatural?Karya gue Little Shops of Horrors itu pertama kali gue bikin pas residensi di Yokohama, tepatnya di Koganecho. Di situ tuh tadinya semua rumah bordil dan pelacuran lalu dibersihkan oleh pemerintah,  dijadikan art side. Tapi gue bingung kenapa mereka sebagai institusi seni engga mau ngomongin sejarah gelap daerah Koganecho. Jadi gue mencoba masuk ke sejarah kelam itu, bikin Little Shop of Horrors yang lebih fun, today's amusement, jualan mainan gitu.
Jadi selama tiga bulan di Yokohama, gue mencari tahu ketakutan orang Jepang, ketakutan penduduk setempat situ. Dari situ gue klasifikan ulang riset-risetnya, lalu gue gabungin lagi dengan tokoh hantu Jepang. Gue tulis ulang jadi cerita baru. Dari 12 cerita yang gue bikin, gue cari mainan yang konteksnya sesuai dengan cerita yang gue buat. Jadi orang engga tau maenannya apa tapi yang mereka baca itu ceritanya dulu. Apalagi pada saat itu mereka sangat sensitif dengan Koganecho itu dulunya rumah bordil dan banyak prostitusi di situ.
Jadi apa ternyata ketakutan orang-orang di sekitar Koganecho?Lebih ke pride gitu kali ya. Kayak karena tempat itu sekarang setengah institusi pemerintahan, jadi mereka engga bisa radikal. Tapi gue tetap mencari celah gimana caranya biar gue bisa ngomongin [sejarah prostitusi Yokohama] tapi engga ditolak sama pengelola pameran.
Pameran elo agak bersifat politis juga ya berarti?Iya
ADVERTISEMENT
Apa benang merah ketakutan yang dialami penduduk Jepang dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini?Kayak propaganda PKI gitu misalnya. Gue  pernah pake baju gambar Frida Kahlo terus ada palu aritnya terus bokap gue takut. 'Eh kamu nanti ditangkep.' Masih ada hal-hal kayak gitu juga [di Jepang]. Kayak campur tangan pemerintah itu gede banget ke masyarakat secara umum.
Menurut elo kenapa pemerintah Indonesia dan Jepang segitu intrusifnya masuk dalam kehidupan publik?
Pastinya ada kepentingan-kepentingan yang kita engga tahu. Mereka berusaha mengontrol publik, sama kayak kenapa agama dibikin.
Jadi apa kemiripan horor Indonesia dan Jepang yang elo temuin?Kemiripan secara visual. Kayak di Indonesia ada kuntilanak. Di Jepang namanya yurei. Di Indonesia ada kolor ijo, di Jepang ada Kappa. Cerita asal-usulnya juga mirip. Yurei itu kayak sundel bolong. Dia mati, tapi masih pengen nyari anaknya. Kalo kolor ijo mau merkosa orang, kalo kappa sebetulnya mau mengambil bola dari pantat orang. Cerita-cerita folklore ini engga jelas siapa yang buat, dan fungsinya buat nakut-nakutin orang. Elemen seperti itu sih.
Beberapa karya-karya elo merupakan hasil kolaborasi. Little Shops of Horror yang edisi Jakarta ini mengusung ide kolaborasi juga?Little Shops of Horror yang di Yokohama itu gue kolaborasi dengan Sonotanotanpenz. Tulisan-tulisan yang gue buat, dibikin jadi musikalisasi oleh mereka. Kalau yang di Jakarta, kolab sama Ken Jenie dan Dipha Barus. Gue emang temenan deket sama Ken dan dia tertarik dengan konsep pameran gue. Kalo Dipha kebetulan sih, pas ngobrol dia tertarik dan pengen bikin sesuatu yang lain.
Gue sempet liat teaser pameran elo di Footurama. Ada banyak muncul boneka bayi dan tubuh bayi yang dipotong-potong. Apa-apaan nih?Untuk pameran yang di Jakarta, karena gue berkolaborasi dengan Footurama, gue mencoba mengkontekskan ulang kalo di Indonesia horornya itu bagaimana. Jadi gue mau bikin toko di dalam toko tapi juga ada performance-nya dan topiknya itu tentang kanibalisme. Makanya gue bikin namanya 'makan mayit' dan bentuk parodi dari free-form publication jadi "Fresh flesh feast".

Ide kanibalisme datang dari mana?Pas gue ngobrol sama temen wartawan yang pernah wawancara Sumanto. Terus Sumanto sekarang udah bebas. Terus gue jadi tertarik ngomongin itu. Gue pernah buat karya dengan boneka bayi beberapa waktu lalu, baru sekarang coba pake lagi. Karena di sini gue bikin cerita fiksi tentang toko daging bayi yang men-support panti asuhan yang diasuh oleh suster.
ADVERTISEMENT

Gue berusaha mempertanyakan apakah sifat kanibal itu dimiliki oleh semua orang. Karena pas kita masih bayi menyusui, itu juga terhitung minum darah. Kalo zaman sekarang, bayi baru lahir, ari-arinya disimpen di cord blood bank, kalo misalnya sakit tinggal dimakan buat menyembuhkan.
Kenapa topik segila ini yang elo pilih?Gue pengen ngetes orang-orang yang daftar dinner gue. [Gue penasaran] mereka akan berdiskusi tentang apa.
Jadi ini semacem eksperimen sosial?Iya.

Sabtu, 29 Oktober 2016

Fotografi sebagai media komedi

seorang seniman yang berasal dari jogja yg bernama Agan Harahap sempat menjadi viral di media sosial pada tahun 2013 pada sebuah band metal besar ke jakarta,Metallica. Agan menulis kan cerita panjang dan foto foto kedekatannya yang sangat intim dengan personil personil Metallica pada blog nya. tetapi semua yg di tuliskan itu semua nya adalah rekayasa dan hanya untuk hiburan semata.
berikut beberapa karya Agan Harahap :


yakk alhamdulilah yah pelantun lagu smoke weed evyeryday udah infaf dan balik kejalan yang benar,semoga amal ibadah nya diterima oleh ALLAH S.W.T.


yaaa namanya juga anak muda,ternyata ini dia yang bikin Justin dan Selena Gomez putus. Untung nya dia sekarang sudah mendapatkan yang lebih baik yah....


Rihanna memang kerap kali berlibur ke Indonesia terutama ke pulau dewata, karena kekagumannya dengan negara ini tak ada salah nya mencicipi kuliner kuliner yang ada disini.


Setelah diberitakan bahwa rumah mewahnya itu kemalingan Kim Kadarshian sangat sedih dan terpuruk. Pergi ke diskotik di bilangan Jl.Gadjah Mada bersama teman temannya tidak menjadikan solusi kesedihannya.


acara tv Jika Aku Menjadi menyentuh hati Sean Comb untuk ikut  merasakan apa yang ibu ini rasakan..


"Support your local alcohol" yang di serukan oleh Rihanna beberapa hari yg lalu,namun lagi lagi artis Hollywood bermasalah dengan aparat.



beruntungnya Miley Cyrus padahal berangkatnya bareng Kim cuman Miley duit nya banyakan dikit jadi duduk di depan.


yaaaaaakkk sekian terimakasih,foto foto berikut boleh ngambil di google.